"Ketika Waktu Meleleh di Atas Kanvas: Sebuah Lukisan yang Membungkam Langkah Pengunjung"
Teras Berita:
Di tengah deretan karya seni yang memukau di Jakarta Design Center, sebuah lukisan surealis bergambar jam-jam mencair menjadi pusat perhatian pengunjung. Tanpa judul dan tanpa deskripsi, karya ini justru menciptakan ruang refleksi mendalam bagi banyak orang—seolah memaksa mereka berhenti sejenak, dan menatap waktu dari sisi yang lebih sunyi.
Jakarta, 27 Mei 2025 — Di sudut ruang pamer Jakarta Design Center (JDC), sebuah lukisan berukuran besar berdiri gagah namun seolah berbisik lirih. Puluhan jam analog mencair seperti lilin dalam badai warna yang mengalir bebas—biru, jingga, dan emas bercampur dalam pusaran waktu yang tidak lagi saklek. Di tengahnya, sesosok manusia berjubah gelap berdiri sendiri di tangga menuju cahaya, seakan bertanya: ke mana arah yang benar?
Bagi sebagian pengunjung, lukisan ini bukan sekadar karya visual, tapi pengingat—bahwa waktu bisa menelan siapa saja yang terlalu sibuk mengejarnya.
“Saya diam hampir lima menit di depan lukisan ini. Rasanya seperti sedang ditelan oleh waktu saya sendiri,” ujar Fathur (24), seorang pengunjung yang datang bersama adiknya. “Saya bahkan nggak tahu siapa pelukisnya, tapi saya tahu... dia pernah merasa kehilangan arah, sama seperti saya.”
Meski tak dilengkapi deskripsi atau judul, karya ini justru menciptakan ruang interpretasi yang luas dan personal. Ada yang menyebutnya sebagai bentuk terapi visual, ada pula yang menganggapnya kritik terhadap budaya hustle yang memuja kecepatan dan produktivitas.
Kurator pameran, Iqbal Pradipta, menyebut lukisan ini sebagai “momen hening di tengah hiruk-pikuk pameran.”
“Biasanya pengunjung ramai berfoto atau bercakap, tapi di depan lukisan ini, mereka seperti melambat. Ada yang merenung, ada yang justru menangis kecil. Itu bukan sesuatu yang kami rancang—itu datang dari kekuatan visualnya,” katanya.
Meski senimannya belum diketahui secara publik, gaya lukisan ini mengingatkan pada pengaruh Salvador DalĂ dalam pendekatan surealisme. Namun ada perbedaan: pelukis ini tidak menyentuh absurditas murni, melainkan menjadikan surealisme sebagai cara untuk memanusiakan rasa lelah, bingung, dan kehilangan arah di tengah zaman serba cepat.
Pengunjung lain, Tiara (19), mengaku merasa seperti “ditampar halus.”
“Waktu di lukisan ini nggak keras, nggak dingin. Dia meleleh seperti perasaan yang nggak selesai. Ini bukan sekadar lukisan jam—ini lukisan hidup.”
Pameran Timeless Flow sendiri berlangsung hingga akhir Mei, menampilkan berbagai karya seniman muda dengan tema seputar waktu, eksistensi, dan arah hidup. Namun hingga hari keempat, karya ini tetap menjadi magnet paling kuat.
Mungkin, karena setiap orang pada akhirnya sedang berhadapan dengan waktu mereka sendiri—dan lukisan ini memberi mereka ruang untuk itu.
---