Lampoep: Ketika Cahaya Remang Membicarakan Sunyi
Lampoep: Ketika Cahaya Remang Membicarakan Sunyi
Jakarta — Dalam ruang kecil di sudut Erasmus Huis, sebuah karya seni berjudul Lampoep menyambut pengunjung dengan keheningan dan cahaya temaram. Tidak menyilaukan, tidak ramai. Tapi justru di sanalah letak kekuatannya—mengajak siapa saja yang datang untuk masuk ke dalam sunyi, ke dalam diri sendiri.
Karya Lampoep merupakan bagian dari program Art Lab Erasmus Huis, ruang eksperimental yang menjadi rumah sementara bagi kolaborasi seniman muda dari Indonesia dan Belanda. Diciptakan oleh tiga seniman muda dari latar belakang berbeda, Lampoep mengeksplorasi tema kesepian, overthinking, dan tekanan hidup yang kerap dirasakan namun jarang diucapkan, terutama oleh generasi muda.
Berbeda dari instalasi seni yang sering mengedepankan visual mencolok, Lampoep justru menantang pengunjung untuk melambat. Dalam sebuah ruangan gelap, terdapat lampu-lampu kecil yang bisa dinyalakan sendiri oleh pengunjung. Di setiap cahaya yang menyala, ada potongan narasi batin, suara-suara yang terdengar seperti bisikan pikiran di malam hari—tentang kecemasan, harapan, dan luka yang ditutupi.
“Waktu kecil, kita takut gelap. Tapi saat dewasa, kadang justru kita lebih nyaman di dalamnya,” ujar Alya Ramadhani, salah satu seniman yang terlibat. Ia menjelaskan bahwa Lampoep adalah bentuk penerimaan terhadap bagian-bagian diri yang tidak selalu kuat dan tidak selalu harus terlihat.
Proses kreatif karya ini berlangsung selama dua bulan dalam program residensi Erasmus Huis. Para seniman diberi kebebasan bereksplorasi sekaligus didorong untuk menjawab isu sosial yang relevan. Dalam kasus Lampoep, mereka memilih untuk tidak menjawab, melainkan merangkul pertanyaan: bagaimana jika kesepian bukan kelemahan?
Pengalaman yang ditawarkan Lampoep tidak bersifat informatif, melainkan emosional. Pengunjung tidak dituntut memahami simbol atau pesan tertentu, tetapi didorong untuk merasa. “Kami tidak menyuruh orang untuk mengerti. Cukup duduk sebentar, nyalakan satu lampu, dan dengarkan. Itu saja,” tambah Alya.
Maarten van den Berg, Direktur Erasmus Huis, menyatakan bahwa Art Lab memang dirancang sebagai ruang yang bebas nilai dan penuh kejujuran. “Kami ingin anak-anak muda bisa mengekspresikan dirinya tanpa batasan bentuk dan topik. Lampoep adalah salah satu contoh bagaimana suara personal bisa terasa sangat universal,” ungkapnya.
Pameran Lampoep dapat dikunjungi di Erasmus Huis, Jakarta Selatan, hingga 12 Mei 2025. Tidak ada tiket masuk, hanya sebuah undangan untuk datang dengan hati terbuka—dan mungkin, keluar dari kegelapan.